Modernis.co, Malang – Oligarki menurut wikipedia adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif di pegang oleh kelompok elite kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga atau militer.
Sistem demokrasi yang pada prinsipnya “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”. Artinya pemerintah menjalankan negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Sistem demokrasi yang berlaku sejak Indonesia merdeka 1945 hingga sekarang kerap terjadi penyelewengan. Contoh: RUU Cipta Kerja Omnibus Law, pemerintah mementingkan kepentingan kelas atas dari pada rakyat.
Yang kita lihat sistem demokrasi di Indonesia yang bertujuan untuk meratakan kekuasaan dan ekonomi, nyatanya justru berjalan di arah yang sebaliknya. Menurut analisis politik Northwestern University, Jeffrey Winters justru menilai Demokrasi Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki, sehingga makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat.
Jeffry Winters mengatakan “terlihat makin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin di Indonesia”. Juga pada penjelasan Jeffry Winters yang membandingkan kaya dan miskinnya Indonesia lebih merata pada tahun 1945 dibandingkan yang sekarang ini. Mengapa demikian, karena oligarki dan elite Indonesia sudah menguasai sistem demokrasi dan mengontrol sehingga Indonesia punya Oligarki Demokrasi.
Tetapi makin berkembangnya sistem demokrasi justru semakin membuat oligarki merajalela, bukan karena sistem demokrasi yang salah, melainkan penegakan hukum yang lemah. Seperti yang kita lihat penegakan hukum di Indonesia ditegakkan ketika yang dihadapi rakyat lemah. Namun ketika yang di hadapi kaum oligarki, penegakan hukum seolah tak berfungsi.
Melihat dari segi negara kita yang seperti ini untuk membuat hukum berjalan dengan baik, harus berasal dari masyarakat yang secara normal bisa d wakili oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Akan tetapi dengan kondisi anggota Dewan Anggota Rakyat (DPR) di Indonesia, maka gerakan harus dilakukan oleh rakyat secara langsung.
Demokrasi di negara yang sedang transisi seperti Indonesia tidak cukup kalau hanya di tunjukkan dalam pemilu, partisipasi harus lebih dari itu. Ini adalah beban bagi rakyat yang harus berjuang, dan kalau kita tidak mau berjuang jangan mengeluh kalau sistemnya buruk.
Ali Abdillah pernah berkata apabila ada suatu hal yang mendesak, seharusnya yang segera bergerak bukanlah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan Presiden.
Hal ini karena Presiden diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) jika terjadi keadaan mendesak dan negara membutuhkan adanya suatu peraturan “Revisi UU KPK ini dibuat mendesak oleh DPR harus dipertanyakan. Sebenarnya, kepentingan siapa yang sedang dibela dalam revisi UU KPK ini? kepentingan negara atau kepentingan koruptor?” tuturnya.
Problemnya
Ali menuturkan bahwa terdapat dua pasal yang menjadi sorotan utama yaitu Pasal 32 dan Pasal 37. Pasal 32 ayat (1) poin c berbunyi Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena melakukan perbuatan tercela. Mengenai pasal tersebut, Ali mengatakan ketentuan pemberhentian ini, dapat menyebabkan ketidakpastian hukum lantaran pengertian ‘tercela’ sendiri tidak didefinisikan secara jelas. Maka dari itu, pasal itu akan sangat rawan adanya politisasi.
Kemudian, dalam Pasal 37 dikatakan bahwa hadirnya Dewan Pengawas tidak terlalu menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah ketika penggunaan kewenangan KPK dalam hal penyidikan itu harus melalui izin ke Dewan Pengawas.
“Nah ini menjadi pertanyaan besar, kenapa kewenangan ini malah harus izin ke lembaga yang dipilih secara politik? Kalau pun harus izin, lebih tepat izin ke lembaga peradilan,” ungkap Ali. (sumber :kumparan.com)
Di luar kedua pasal tersebut, masih ada pasal-pasal yang lain dalam UU KPK 2019 yang sebenarnya juga sangat memungkinkan terjadi pelemahan terhadap KPK terutama dalam hal klasifikasi penyidikan. Namun, ia masih enggan untuk berkomentar lebih jauh terkait hal tersebut.
Jika kita melihat dari kasus tersebut penggantian Undang-Undang baik itu RUU KUHP dan juga RUU Cipta Kerja Omnibus Law beberapa pihak hanya ingin kemakmuran golongan elite tanpa memikirkan rakyat Indonesia. Persidangan yang di lakukan malam-malam sehingga hanya sedikit orang yang mengetahui pengesehaan RUU tersebut dalam hal ini kita melihat bahwa ada sesuatu yang ingin dihindari oleh pemerintah dan mempunyai tujuan lain.
Menurut penulis oleh karena itu kita sebagai mahasiswa dan sebagai perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke harus mengawasi kinerja dari Pemerintah dan tidak merasa acuh tak acuh terhadap pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena jika bukan kita para mahasiswa yang mengawasi siapa lagi?
Pada Senin,02 November 2020, 23:31 WIB. Presiden Joko Widodo resmi mengesahkan Omnibus Law Undang -Undang Cipta Kerja diundangkan dalam nomor 11 tahun 2020.(Sumber: Detik.com)
Seperti sebelumnya yang kita ketahui Mahasiswa dan berbagai buruh dan masyarakat lainnya telah menolak keras, tetapi apa yang telah terjadi? para pemimpin nekat dan bersikukuh, cara tindakan yang salah, tempat dan waktunya, karena kembali lagi pada sistem demokrasi yaitu ‘dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat’. Maka dari itu suara rakyat harus didengar karena rakyatlah yang akan merasakan efek setiap kebijakannya.
Oleh: Ainayya Nabila Sakarina (Mahasiswa FAI Universitas Muhammadiyah Malang)